Senin, 20 Oktober 2014

LEGENDA TEMBALANG



LEGENDA TEMBALANG

 Ketika Raden Pandan Arang mengadakan pertemuan dengan para santri dan abdi dalem, Raden Pandan Arang atas saran para pengikutnya, berkeinginan melakukan perjalanan ke wilayah selatan Semarang.
Raden Pandan Arang dengan tidak kurang dari lima puluh orang santri dan abdi dalem berjalan ke arah selatan. Karena medan yang mereka tempuh naik turun gunung, perjalanan mereka tidak selancar ketika melakukan perjalanan ke arah barat. Namun, mereka semua bergembira dan tidak nampak keletihan.
Mereka semua terhibur oleh indahnya pemandangan alam yang mereka lihat. Dari salah satu bukit yang mereka lalui, tampak di kejauhan Laut Jawa yang membiru. Pemandangan seperti itu belum pernah mereka saksikan dalam perjalanan mereka sebelumnya.
Mengetahui kegembiraan dari para pengikutnya, Raden Pandan Arang berkata, ” Betul. Saya pun merasakan demikian. Ternyata, alangkah indahnya wilayah kita. Oleh karena itu, jagalah semua itu. Jangan saudara2 cemari dengan perbuatan2 yang tidak terpuji. Misalnya, menebangi pohon. Laut yang membiru seperti itu jangan dicemari sampah2.”
Tidak berapa jauh dari tempat Raden Pandan Arang dan para pengikutnya beristirahat, ada sebuah perkampungan. Kehidupan mereka amat rukun.Tanah di daerah itu amat subur. Segala janis tanaman dapat hidup. Mereka sebagian besar hidup dari bertani.
Di wilayah itu terdapat sembilan mata air, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan istilah “tuk sanga“. Tuk adalah bahasa Jawa yang artinya “mata air”; sedangkan sanga artinya “sembilan”. Semula keberadaan ke sembilan mata air tersebut tidak menjadi masalah. Bahkan sangat menguntungkan bagi penduduk setempat, apalagi air yang keluar dari ke sembilan mata air tersebut sangat jernih. Oleh penduduk, air tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci serta memasak, melainkan juga untuk mengairi tanam-tanaman mereka.
Akan tetapi, dua tiga bulan terakhir, keberadaan tuk sanga tersebut menimbulkan masalah bagi penduduk. Masalahnya, air yang keluar dari ke sembilan mata air itu amatlah banyak. Akibatnya air menggenang di berbagai tempat. Bahkan kemudian terbentuklah sebuah danau yang semakin lama semakin besar.
Penduduk pun dengan bergotong royong berusaha menutup lubang – lubang mata air itu, tetapi selalu gagal. Tanah, bahkan batu – batu yang besar yang mereka gunakan untuk menutup mata air-mata air itu selalu saja tenggelam. Masyarakat menjadi panik dibuatnya.
Pada saat masyarakat setempat hampir putus asa, munculah Raden Pandan Arang beserta rombongannya. Sesaat Raden Pandan Arang mengambil air wudhu. Setelah itu beliau menggelar sajadah dan sholat. Setelah sholat beliau berdo’a lama sekali. Setelah selesai berdo’a, beliau berkata  “Saudara-saudara, sepeninggal kami dari desa ini, insya Allah mata air-mata air itu akan segera tidak mengeluarkan air lagi. Cuma satu yang tersisa. Itu masih saudara-saudara perlukan untuk kehidupan sehari-hari. Pesan saya, jagalah kebersihan mata air tersebut, kedua, berilah nama desa ini Tambalang.
“Titah Raden akan kami laksanakan. Akan tetapi, kalau boleh kami tahu, apa arti Tambalang tersebut paduka?” tanya salah seorang penduduk. “Tembalang itu berasal dari kata tambal dan hilang. Bukankah saudara-saudara berkali-kali menambal lubang-lubang mata air-mata air tadi, tetapi selalu hilang bukan?”.
Raden Pandan Arang beserta rombongan segera meninggalkan tempat itu. Keajaiban pun terjadi. Bersamaan dengan kepergian beliau dari tempat itu, sedikit demi sedikit air yang keluar dari mata air itu pun semakin mengecil. Akhirnya berhenti sama sekali, bertepatan dengan hilangnya Raden Pandan Arang beserta rombongan dari pandangan mata para penduduk. Tingal sebuah mata air yang masih mengeluarkan air seperti yang dikatakan Raden Pandan Arang. Itu pun dengan aliran yang tak seberapa besar.
Amanat :berbaktilahkepadaorangtuadantetapmenjalankanperintahTuhan Yang MahaEsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar