Karakter Bangsa Indonesia
Karakter
bangsa; kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi perihal
penyebab keterpurukan Bangsa Indonesia di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk
menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya, sedang berada di titik
nadir. Saya sangat meyakini bahwa perbaikan karakter bangsa merupakan satu
kunci terpenting agar bangsa yang besar jumlah penduduknya ini bisa keluar dari
krisis dan menyongsong nasibnya yang baru.
Pergilah ke kantor-kantor yang berurusan dengan pelayanan publik, pasar, hingga
jalan raya; dan bandingkan dengan kondisi tempat yang sama di negara maju, anda
akan bisa memaklumi puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa
Indonesia. Tak perlu gerah dan membuat puisi tandingan, gunakan cermin besar
untuk melihat keseharian bangsa kita (yang tentu saja turut menelanjangi diri
sendiri). Masih ada, jelas, bagian dari bangsa kita yang berkarakter mulia;
hanya sayang, jumlahnya masih minoritas.
Sudah Habis
Teori di Gudang; demikian ungkapan Professor Mahfud MD menjawab pertanyaan
mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa
ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Bangsa kita memang gudangnya
teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan
sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam
aplikasinya. Tidak sesuainya kata dan perbuatan, demikian ungkapan dai-dai
kondang kita yang berusaha mencari solusi bagi bangsa.
Menjadi
lebih menyedihkan lagi manakala kita melihat ke dalam dan menemui bahwa
mayoritas komponen bangsa kita mengklaim dirinya sebagai bangsa yang religius.
Banyak sudah orang mengatakan bahwa nilai-nilai religiusitas yang diyakini
menjadi bagian integral Bangsa Indonesia justru diaplikasikan dalam keseharian
oleh bangsa maju yang notabene sekuler. Bangsa kita gagal dalam melakukan
internalisasi nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan menjadi perilaku
keseharian. Sedangkan bangsa lain memeras otak mereka dan menghasilkan prinsip
hidup yang terealisir. Nilai-nilai luhur bangsa kita jelas lebih unggul, karena
berasal dari Tuhan; perlu usaha keras dan luarbiasa untuk melakukan
internalisasi. Tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sebagian besar lembaga
pendidikan kita, baik pendidikan formal ataupun non-formal, umum ataupun
keagamaan, belum berhasil melakukan tugas utamanya: internalisasi nilai luhur
menjadi perilaku.
Belum
terlambat dan insya Allah tidak mustahil mengubah nasib Bangsa Indonesia.
Jangan menunggu keajaiban datang dari langit. Seluruh komponen bangsa:
Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Militer, Penegak Hukum, Swasta, dan
Masyarakat harus bertekad kuat memperbaiki karakter bangsa melalui peran
masing-masing. Tidak perlu membuat TAP MPR atau UU Karakter Bangsa – pengalaman
menunjukkan bahwa banyak peraturan di bumi pertiwi yang hanya berhenti di
lembaran negara.Zero defect harus menjadi prinsip utama seluruh
komponen bangsa; baik untuk urusan kecil, seperti membuang sampah, hingga
pengamanan harta negara.
Implementasi zero
defect memerlukan kepemimpinan yang bersih, kuat, tegas, dan
berstamina tinggi. Zero defect tidak mustahil untuk
dilaksanakan, karena ini masalah pembiasaan. Zero defect bukan
berarti mengingkari kodrat manusia yang memang tidak pernah bisa mencapai
kesempurnaan; namun hal tersebut menjadi the ultimate goal yang
patut digantungkan di dinding kantor-kantor pemerintahan. Sedikit penyimpangan
terhadap zero defect yang masih berada dalam toleransi yang
terukur bisa ditolerir dengan catatan adanya tekad bulat untuk kembali menuju
ke zero defect.
Karena ini
masalah pembiasaan, maka kunci terpentingnya ada di bidang pendidikan. Wajah
pendidikan kontemporer kita, sebagai sebuah sistem yang tak bisa lepas dari
rembesan nilai-nilai setempat, masih terlihat belum cemerlang. Secara umum,
pendidikan di Indonesia belum menghasilkan lulusan berkarakter kuat. Tentu
saja, ada di sana-sini pelaku pendidikan, baik individu ataupun lembaga yang
berkarakter. Hanya saja jumlahnya masih minoritas.
Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Rektor (Forek), dan berbagai pimpinan
lembaga pendidikan formal dan non-formal perlu kembali mengingatkan kepada anggotanya
tentang peran mulia dan strategis mereka dalam perubahan nasib bangsa. Tidak
perlu menunggu implementasi UU Guru dan Dosen untuk memulai semua itu, karena
entitas ini, Guru, Dosen, dan para pendidik pada umumnya, adalah para pahlawan
bangsa. Sejarah kontemporer Indonesia akan mencatat dengan tinta emas peran
para pendidik dalam keluarnya Indonesia dari krisis. Lingkaran setan yang
membelit Bangsa Indonesia perlu segera diputus; dimulai dari para ksatria:
Guru, Dosen, dan para pendidik. Kami menunggu kiprah anda semua.
Dirgahayu
Bangsa Indonesia; selamat memasuki jalan panjang dan berliku menuju bangsa yang
berkarakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar