ISU PENDIDIKAN
Dampak diberlakukannya kurikulum 2013, bagaimana
kesiapan guru maupun siswa
KRITIK RESPON
KTSP atau Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang
disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan di Indonesia.
Kelebihan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
- Mendorong para guru, kepala
sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan
kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
- KTSP sangat memungkinkan bagi
setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran
tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sekolah dapat
menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling
dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat
mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan
hidup.
- KTSP akan mengurangi beban
belajar siswa yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang
berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
- Kurikulum sangat humanis, yaitu
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum
sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa dan kondisi daerahnya
masing-masing.
- Menggunakan pendekatan
kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi
terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.
- Standar kompetensi yang memperhatikan
kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks
social budaya.
- Berbasis kompetensi sehingga
peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari
seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi
bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh
lingkungan.
- Satuan pendidikan diberikan
keleluasaan untyuk menyususn dan mengembangkan silabus mata pelajaran
sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan
peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah.
- Guru sebagai fasilitator yang
bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar
siswa.
Sedangkan kelemahan
dari kurikulum KTSP adalah
- Kurangnnya SDM yang diharapkan
mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
Minimnya kualitas guru dan sekolah.
- Kurangnya ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP .
- Masih banyak guru yang belum
memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun
prakteknya di lapangan
- Penerapan KTSP yang
merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya
pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai
syarat sertifikasi guru untukmendapatkan tunjangan profesi.
Peran mana yang lebih tepat untuk
disandang oleh guru: sutradara atau aktor? Jika pertanyaan ini diajukan kepada
guru, tentu jawabannya akan bergantung pada sikap mental si guru. Bagi guru
yang bermental kreatif dan inovatif, peran sebagai sutradara tentu menjadi
pilihan mantap. Sebaliknya, peran sebagai aktor merupakan pilihan nyaman bagi
guru yang daya kreasi dan inovasinya rendah.
Dua peran yang berbeda secara ekstrem itulah yang menjadi pembeda mencolok
antara peran guru dalam kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya. Dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum
2006 memberikan otoritas luas kepada guru untuk mengembangkan kurikulum dengan
mengakomodasi potensi lokal (daerah dan sekolah). Sedangkan kurikulum 2013 yang
akan segera diberlakukan, seluruh otoritas itu diambil alih oleh Pusat, dalam
hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mencermati perombakan besar ini, layak kiranya masyarakat
bertanya: ada apa gerangan? Beragam spekulasi pun muncul dalam meraba-raba
jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada yang menduga, KTSP berpotensi menjadi
ancaman disintegrasi bangsa. Sebagian yang lain menduga bahwa KTSP berpotensi
untuk menciptakan disparitas mutu pendidikan antardaerah semakin tajam.
Sementara, sebagian yang lain lagi mencoba mengevaluasi realitas unjuk kerja
guru dalam pengembangan KTSP.
Spekulasi pertama tampak sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi tidak sedikit pun memberikan ruang bagi
satuan pendidikan (baca: guru) untuk mengembangkan “kurikulum gerakan separatisme”.
Bahwa potensi daerah mendapatkan ruang apresiasi cukup tinggi dalam
pengembangan kurikulum adalah benar. Namun, prinsip pengembangan KTSP juga
menegaskan bahwa pengembangan kurikulum sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal
Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dugaan kedua juga tampak sebagai vonis prematur. Standar Kompetensi Lulusan dan
Standar Isi memberikan batasan yang cukup jelas, kompetensi apa yang mesti
dicapai oleh peserta didik. Standar Proses dan Standar Penilaian memandu secara
rinci bagaimana guru mesti melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
pembelajaran dalam rangka mencapai kompetensi yang ditetapkan. Standar
Pengelolaan memuat pedoman detail bagaimana penyelenggara pendidikan mesti
mengelola satuan pendidikan dalam rangka memenuhi standar nasional.
Apabila seperangkat dokumen yang termaktub di dalam Standar Nasional Pendidikan
(SNP) itu diikuti secara konsisten dan konsekuen, dua kekhawatiran di atas
tidak perlu terjadi. Lalu muncul kecurigaan: apakah selama ini SNP dijadikan
sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan secara makro dan pengembangan
kurikulum secara mikro? Tanda tanya inilah yang melandasi analisis ketiga:
satuan pendidikan (sekali lagi, baca: guru) tidak optimal dalam menjalankan
perannya sebagai pengembang kurikulum.
Idealnya, KTSP benar-benar menggambarkan “lakon” pendidikan yang dipentaskan
oleh sekolah dan guru-gurunya. Ibarat pementasan drama, dengan KTSP didambakan
tiap-tiap sekolah menampilkan panggungnya masing-masing dengan skenario yang
khas namun alur ceritanya sama secara nasional.
Kenyataannya, tidak sedikit—untuk tidak menyebut sebagian besar—sekolah yang
dokumen KTSP-nya seragam, hanya berbeda nama sekolahnya. Mulai dari visi, misi,
dan tujuan sekolah hingga kalender pendidikan serupa. Di unit terkecil, silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru antarsekolah juga
sama, hanya identitas sekolah dan gurunya yang berbeda. Fakta yang lebih
ironis, banyak isi dan proses pembelajaran di kelas yang hanya mengikuti skenario
buku teks pegangan siswa, halaman demi halaman.
Indikasi kemandulan peran guru dan sekolah itulah yang, tampaknya, menjadi
alasan kuat bagi Pemerintah untuk menarik kembali otoritas yang pernah
diserahkan kepada satuan pendidikan.
Pertanyaan ikutannya adalah: efektifkah langkah drastis ini menjadi “obat” bagi
mutu pendidikan nasional yang dirundung “sakit”? Dalam jangka pendek, obat
instan tersebut bisa menjadi penawar. Kurikulum yang built-in dari
Pusat, setidaknya, diharapkan mampu meluruskan isi, proses, dan penilaian
pembelajaran. Dengan silabus dan buku kerja siswa serta buku panduan untuk guru
yang rencananya didikte dari Pusat, mestinya karut marut praktik pembelajaran
segera terbenahi.
Namun, dalam jangka panjang, langkah ini bisa merongrong wibawa profesi guru.
Betapa tidak? Salah satu indikator guru profesional adalah cakap menyutradarai
pembelajaran. Jika hanya sanggup menjadi aktor, yang segala tindakannya tinggal
mengikuti arahan sutradara, berarti guru tidak memerlukan pendidikan khusus,
apalagi dengan sebutan pendidikan profesi.
Jika dugaan terakhir ini benar—Pemerintah frustrasi terhadap kegagalan guru
dalam memainkan peran sebagai agen pengembangan kurikulum—berarti status
pendidikan kita sedang gawat darurat. Di belahan bumi mana pun, guru menjadi
ujung tombak mutu pendidikan. Sesempurna apa pun kurikulum dalam tataran
konseptual, toh hasilnya sangat ditentukan oleh implementasinya di ruang-ruang
kelas sekolah.
Ironis, memang, bahwa di tengah ingar-bingar sertifikasi guru, justru otoritas
yang memberikan ruang aktualisasi profesionalisme guru dikebiri. Tetapi, yang
lebih memrihatinkan, pemegang otoritas itu sudah mandul sebelum dikebiri. Lalu
dengan cara apa lagi upaya peningkatan kompetensi guru mesti dilakukan? Sebuah
bahan renungan bagi semua pemangku kepentingan pendidikan, utamanya pemilik
kewenangan dalam pengadaan, pengangkatan, dan pembinaan pahlawan tanpa tanda
jasa ini.
Mendikbud mengatakan, penetapan
implementasi kurikulum 2013 secara masif telah diputuskan dalam rapat wapres di
akhir tahun 2013. Ia menambahkan, keputusan tersebut diambil karena hasil
sensus menunjukkan gradasi positif. “Kalau hasilnya cuma 60 persenan, kita
tidak berani,” tuturnya.
Selain sensus dampak kurikulum 2013
terhadap siswa, materi lain dalam sensus tersebut adalah dampak terhadap guru.
Diketahui, guru-guru masih kesulitan dalam pembuatan RPP. Untuk itu, dalam
pelatihan yang diadakan ke depan, pembuatan RPP akan menjadi salah satu agenda
utama.
Demikian pula untuk kepala sekolah,
dalam hasil sensus tersebut kepala sekolah diminta lebih aktif dalam melakukan
supervisi. “Semua akan kita perbaiki,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar